Crypto
Menurut Ekonom ini Kunci Sukses Proyek Mata Uang Kripto
Semenjak mereguk kenaikan harga amat tinggi beberapa tahun belakangan ini, Bitcoin seolah menjadi tolok ukur kesuksesan proyek-proyek mata uang kripto baru. Para pengembang berlomba-lomba menggunakan jargon “Bitcoin baru” atau Bitcoin generasi kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Berbagai varian teknologi disematkan ke dalam produk mata uang kripto baru yang diharapkan mampu mendongkrak jumlah pengadopsi produk tersebut.
Produk-produk mata uang kripto yang kini ada amat bervariasi jenisnya. Ada yang berfokus pada kemudahan transaksi, ada pula yang mengedepankan privasi dan anonimitas transaksi. Tidak sedikit pula produk mata uang kripto yang menyediakan fasilitas pemrograman lengkap seperti yang ada pada Ethereum, sehingga para pengembang perangkat lunak dapat membuat aplikasi di atas platform mata uang kripto. Selain itu, industri Internet of Things (IoT) juga mendapat porsi perhatian yang tidak kecil dari para pengembang produk mata uang kripto, di mana kombinasi antara mata uang kripto dan IoT diharapkan dapat sukses di masa depan.
Teknologi-teknologi terdepan yang disematkan dalam produk mata uang kripto baru ternyata tidak serta-merta membuat produk tersebut sukses di pasaran. Bitcoin masih menjadi produk terdepan dalam hal nilai transaksi yang direkam dalam blockchain serta nilai transaksi perdagangan dalam berbagai pasar mata uang kripto di dunia, juga dalam hal tingkat adopsi di level pengguna.
Padahal seperti sama-sama kita ketahui, Bitcoin bisa dikatakan sebagai produk yang memiliki teknologi mata uang kripto paling tua yang pernah ada (meskipun tidak dipungkiri, Bitcoin yang sekarang telah memiliki berbagai fitur ekstra yang tidak ada dalam versi aslinya, semisal Segregated Witness yang meningkatkan kapasitas Bitcoin serta memberi peluang aplikasi microtransaction seperti lightning network diletakkan di atasnya).
Selain penerapan teknologi dalam mata uang kripto, ternyata dari sisi ekonomi ada faktor lain yang menentukan tingkat adopsi mata uang kripto. William J. Luther dalam papernya “Cryptocurrencies, Network Effects, and Switching Costs” mengembangkan model ekonomi untuk memprediksi apakah Bitcoin dapat memiliki tingkat adopsi yang jauh lebih besar ketimbang yang ada sekarang ini. Luther membandingkan “kesuksesan terbatas” yang dinikmati Bitcoin saat ini dengan proses adopsi mata uang baru yang pernah terjadi di masa yang lampau, misalnya yang terjadi di Swaziland dan Sudan.
Berdasarkan investigasi yang dipaparkan dalam tulisannya, Luther menggambarkan bahwa adopsi mata uang kripto seperti Bitcoin secara massal (di tingkat nasional ataupun global) tidak akan terjadi apabila tidak ada instabilitas moneter di dunia dan/atau dukungan pemerintah terhadap penggunaan mata uang kripto. Kedua faktor tersebut akan memaksa para pengguna mata uang untuk beralih dari mata uang yang satu ke mata uang yang lainnya.Karakteristik superior sebuah mata uang baru tidak akan banyak bermanfaat apabila faktor-faktor di atas tidak terpenuhi (meskipun argumen dapat dibangun untuk mempertanyakan apakah Bitcoin merupakan bentuk uang yang lebih superior ketimbang mata uang fiat yang ada saat ini dari sisi kebijakan finansial dan ekonomi).
Network effect, seperti yang disinggung dalam paper milik Luther, merupakan sebuah fenomena di mana seseorang akan mengadopsi sebuah produk karena orang lain juga menggunakannya. Sebagai contoh nyata misalnya Bitcoin menjadi mata uang kripto yang paling banyak diperdagangkan di semua pasar mata uang kripto dan menjadi mata uang kripto yang paling diterima sebagai alat pembayaran di dunia. Dengan memiliki bitcoin, maka seseorang akan memiliki kemampuan untuk membeli barang ataupun jasa, jauh lebih banyak ketimbang ketika orang tersebut memiliki produk mata uang kripto lainnya. Ketika kelompok tertentu mulai menerima mata uang kripto, maka network effect akan mulai berlaku, dan tingkat adopsi mata uang kripto tersebut mulai tumbuh.
Switching cost yang dimaksud dalam paper tersebut merupakan biaya atau usaha yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk beralih dari mata uang lama ke mata uang baru. Dalam hal mata uang kripto, faktor ini ditentukan oleh jumlah pasar mata uang kripto yang memperdagangkan produk mata uang kripto tersebut. Selain itu, ATM mata uang kripto juga dapat membantu penurunan switching cost oleh pengguna (meskipun pendekatan ATM kini tidak banyak dilirik karena biaya operasional yang tinggi, misalnya karena ongkos sewa tempat, jaringan, perangkat keras, dan pemeliharaan).
Penjelasan Luther ini seakan memberi penjelasan naiknya popularitas Bitcoin secara signifikan yang terjadi di beberapa negara yang mengalami krisis ekonomi, seperti yang terjadi di Venezuela. Mata uang lokal Venezuela, Bolivar, telah mengalami pelemahan yang amat signifikan yang menyebabkan rakyat Venezuela amat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Demi menyelamatkan kekayaan yang tersisa, mereka memindahkan harta mereka dari mata uang lokal ke dalam Bitcoin yang likuid dan saat ini telah diterima secara global.
(Hingga saat ini, usaha Presiden Nicolas Maduro untuk menggantikan Bolivar dengan mata uang kripto Petro bikinan dalam negeri Venezuela belum memberikan hasil yang diharapkan).Paper milik Luther ini juga dapat menjadi model yang dapat diikuti oleh pengembang produk mata uang kripto baru.