Baru-baru ini, Presiden Tiongkok Xi Jinping memberikan pernyataan mengenai blockchain. Ia menyampaikan, “Tiongkok harus mengutamakan blockchain bagi inovasi teknologi inti. Kita harus meningkatkan investasi, fokus di sejumlah teknologi inti serta mempercepat pengembangan teknologi blockchain.
Menanggapi hal tersebut, Anthony Pompliano dari Morgan Creek Digital mengatakan, pengembangan teknologi blockchain adalah perlombaan terbesar generasi saat ini. Kendati penerapan blockchain pertama kali lahir pada tahun 2008 dengan adanya Bitcoin, pemerintah berbagai negara baru memerhatikannya belum lama ini.
Setiap negara memiliki tiga pilihan, yaitu mengabaikan teknologi blockchain dan aset digital, melarangnya atau merangkulnya. Sebelumnya, terlihat banyak negara memilih mengabaikan industri blockchain dan hanya negara korban sanksi ekonomi yang memakainya. Tetapi semua berubah setelah pernyataan Presiden Xi.
Tiongkok bersungguh-sungguh ingin menjadi pemimpin dunia di bidang blockchain. Tenaga kerja Tiongkok yang berjumlah sangat besar dididik untuk siap mengembangkan blockchain, dan pejabat pemerintah dengan jelas menekankan betapa pentingnya teknologi ini. Selain itu, etos kerja di Tiongkok sangat tinggi, di mana pegawai bisa masuk kantor dari jam 8 pagi hingga jam 10 malam.
Semua faktor tersebut menjadi pendukung bagi peluang Tiongkok mendominasi di industri blockchain. Pompliano mengungkapkan, sikap Tiongkok bertolak belakang dengan Amerika Serikat, yang justru berusaha menghambat perkembangan blockchain.
BERITA TERKAIT Bitcoin sebagai Kuda Hitam Mata Uang
Kongres dan Senat AS terus menggempur Facebook, salah satu perusahaan terbesar AS, sebab ingin menerbitkan uang digital Libra beserta infrastrukturnya. Otoritas Jasa Keuangan AS (SEC) telah menggelontorkan jutaan dolar untuk mengejar dan menghukum startup yang merangkul teknologi blockchain. Di saat yang sama, regulasi tentang blockchain belum dikeluarkan dengan jelas.
Dirjen Pajak AS pun menetapkan aturan yang memaksimalkan pemasukan pajak, tetapi menghambat inovasi dan aktivitas pasar. Semua kendala tersebut semakin dikukuhkan dengan pernyataan Presiden Trump bahwa ia tidak menyukai Bitcoin dan aset kripto. Sikap AS terlihat jelas, teknologi blockchain dan aset digital bukanlah prioritas bagi negeri Paman Sam itu, walaupun banyak bursa kripto yang berdiri di sana.
Sebab itu, Pompliano berpendapat, AS menghadapi “Dilema Inovator”, di mana suatu lembaga yang sukses bisa kehilangan keberhasilan mereka seiring munculnya pesaing baru. Pesaing baru itu cenderung disruptif dan menyalip perusahaan lama sebab teknologi yang dipakai baru dan cepat, sementara perusahaan lama masih terjebak dengan cara-cara yang usang.
Dolar AS telah lama menjadi mata uang cadangan dunia. Tetapi sekarang, muncul dua pesaing baru, yaitu Bitcoin dan uang digital nasional Tiongkok bernama DCEP. Bitcoin dikembangkan oleh pihak yang anonim dan dapat dipakai siapa saja di dunia, sedangkan DCEP dikembangkan Tiongkok setelah memelajari uang digital selama 5 tahun terakhir.
Bukan hanya persoalan uang digital, Tiongkok merangkul teknologi blockchain di bidang-bidang lain. Sejumlah provinsi di sana ingin ramah bagi penambang kripto, sebuah bank swasta menaruh investasi di dompet aset digital, dan Kongres Tiongkok mensahkan hukum yang mengizinkan pemakaian kriptografi untuk tujuan komersial.
Perbedaan antara Tiongkok dan AS bagai siang dan malam. Kendati AS merupakan negara adi daya saat ini, posisi tersebut bisa terancam dengan adanya tekad kuat dari Tiongkok. Bila AS tidak berhasil mendisrupsi diri sendiri, maka akan terjadi pergeseran kekuasaan dari AS ke Tiongkok serta dari pemerintah ke tangan-tangan individu, pungkas Pomp.