Secara teoritis pemangkasan suku bunga acuan dari bank sentral merupakan signal dovish, dikarenakan perlu adanya stimulasi moneter terhadap pasar, agar bergairah melakukan aktivitas ekonomi.
Pemotongan suku bunga ini diharapkan dapat membuat bank komersial lebih murah dalam mendapatkan akses pendanaan dari bank lain untuk menutupi Giro Wajib Minimumnya (GWM), sehingga dapat mematok bunga lebih rendah ke bisnis dan perseorangan (end customer).
Namun pada praktinya saat ini, keadaan tersebut terbalik, dikarenakan ekspektasi pemangkasan suku bunga tersebut sudah jauh diprediksi pasar beberapa minggu sebelumnya.
Itu terjadi sebab persepsi mengenai realita lebih nyata dibandingkan realita itu sendiri. Bisa dikatakan persepsi akan penurunan 100 bps suku bunga acuan oleh The Fed menggerakkan pasar terlebih dahulu, daripada pemotongannya itu sendiri.
Oleh karena itu, pasar merespon dengan negatif “emergency cut” tersebut dengan turunnya hingga ke batas bawah harga index saham futures (SPX Futures) ke level -5 persen.
Itu yang memberikan signal ketidakpercayaan investor dan pasar terhadap kemampuan bank sentral menangani krisis ekonomi ada di depan mata.
Apa dampaknya ke ke negara lain?
Seiring dengan SPX Futures, pasar di berbagai belahan dunia lain seperti Australia (ASX) juga membukukan “senin merah”, di mana mengalami penurunan hingga 10 persen, Shanghai Index hingga -3.5 persen, KOSPI index -3.5 persen, serta Nikkei Index -2.5 persen.
BERITA TERKAIT Ramah Terhadap Bitcoin, Bank Sentral Perancis Akan Bikin Uang Digital Sendiri
Hal ini mencerminkan ketakutan dan pesimisme oleh pemain pasar, meskipun pada beberapa hari selanjutnya bank sentral masing-masing menawarkan paket kebijakan moneter dan pemerintahnya menawarkan paket kebijakan fiskal.
Pemangkasan itu sangatlah besar?
Ya, stimulus oleh The Fed bisa dikatakan dalam ukuran jumbo atau besar-besaran, dikarenakan kebijakan moneter yang ditawarkan bukan hanya pemangkasan suku bunga acuan, tetapi juga menawarkan paket kelonggaran moneter sebesar 700 miliar dollar (dalam bentuk treasury dan MBS), reserve requirement yang menjadi 0.
Itu juga meningkatkan ketersediaan dolar di pasar global bekerjasama dengan bank sentral lainnya dalam bentuk currency swap line.
Perlu dicatat bahwa paket kebijakan jumbo dari The Fed ini tidak pernah diberlakukan sebelumnya, bahkan pada krisis 2008, sehingga menimbulkan skeptisme pada kalangan pasar mengenai pesimisme The Fed sendiri dalam hal menjalankan dual mandate-nya.
Bagaimana nasib Indonesia?
Sejalan dengan Amerika Serikat, pasar saham Indonesia juga membukukan kerugian secara index sebesar -4.5 persen, hampir mengenai batas Auto Rejection Bawah (ARB) yang ditetapkan Bursa Efek Indonesia.
Secara garis besar, dampak pelonggaran moneter yang dilakukan oleh The Fed terhadap ekonomi global tidak diapresiasi baik oleh pelaku pasar, karena sama seperti menambah bahan bakar pada mobil yang sama sekali tidak mempunyai ban.
Dampak ketakutan dan pesimisme pasar diperkirakan akan berlanjut pada beberapa minggu hinggu bulan ke depan, bahkan ketika COVID-19 sudah berhasil diberantas pada beberapa negara maju.
Lebih jauh, apa makna pelonggaran moneter sebesar US$700 miliar itu?
Pelonggaran moneter dalam bentuk quantitative easing US$700 miliar memberikan dampak langsung pada suplai uang yang beredar di pasaran. Ia dibagi menjadi 2 kelompok, yakni treasury atau surat utang dan Mortgage Backed Securities (MBS) atau Efek Beragun Aset (EBA).
BERITA TERKAIT Ini Sinyal Baru Bitcoin yang Patut Diperhatikan
Hal ini krusial dalam hal pembelian langsung oleh bank sentral dikarenakan menciptakan permintaan atau order book pembelian di dalam pasar, sehingga tidak menciptakan spread terlalu tinggi pada pasar iliquid di kala krisis ekonomi seperti ini.
Bayangkan apabila bank-bank komersial yang memiliki aset berupa surat utang atau EBA ingin menjual aset tersebut guna meningkatkan kinerja balance sheetnya, namun tidak ada yang dapat menyerap di pasar.
Di sinilah The Fed berperan dengan sangat penting, agar pasar surat utang dan pasar EBA tetap kompetitif dan bebas dari masalah likuiditas. hal ini juga berujung pada end customer, guna menjaga keyakinannya akan industri perbankan dalam menyimpan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dipercayakan oleh para Nasabah.
Apa pendapat Anda soal Bitcoin terkait situasi itu?
Bitcoin pada saat menjelang hingga konferensi pers oleh Jerome Powell sempat mengalami kenaikan hingga 20 persen dari level US$5.000 ke hampir US$6.000. Namun kenaikan harga tersebut sebelum pasar SPX Futures dibuka pada jam 6 pagi waktu Jakarta.
Pada saat pasar SPX Futures telah buka dan membukukan penurunan hingga 5 persen, Bitcoin langsung turun, menghapus kenaikan 20 persen tersebut dalam sekejap.
Bisa dipastikan bahwa Bitcoin meniru pergerakan pasar saham dan pasar saham futures di beberapa negara maju di dunia. Juga terbukti pada pembukaan pasar saham eropa seperti Jerman pada jam 3 waktu Jakarta, ketika DAX membukukan penurunan sebesar 10 persen, Bitcoin juga ikut mengalami penurunan dari level US$5.200 ke level US$4.700.
Menurut saya, Bitcoin yang lahir dari krisis ekonomi sebelumnya yakni 2008, praktis belum pernah menemui krisis keuangan sepanjang umurnya.
Banyak pihak yang menganggap Bitcoin digunakan sebagai aset safe haven pun dibuat keliru dengan pergerakan harga Bitcoin yang terakhir ini mengalami penurunan signifikan, bahkan sempat mengalami penurunan drastis sekitar -50 persen dalam sehari pada 13 Maret 2020 lalu.
Dapat dikatakan Bitcoin sama seperti aset saham dalam hal spekulatif, namun memiliki beta atau risiko inheren yang jauh lebih besar dibandingkan aset pada legacy market seperti saham.
Bitcoin dapat melihat tren positif atau mengalami rebound hanya ketika pasar legacy seperti pasar saham mengalami rebound juga, tidak dapat melakukan langkah tersebut secara independen untuk saat ini. [red]